Bab 87
Bab 87
Bab 87 Alin Si Melankolis
Ketegangan yang berada di area lain Rumah Tua keluarga Normando ini sangatlah jelas terasa bila dibandingkan dengan ketenangan yang ada di kamar Vivin.
Fabian berjalan menuju kamarnya dengan wajah suram. Alin yang sudah mengenakan gaun’ malamnya, buru-buru menghampiri dan merangkul tangannya. “Fabian, kau dari mana saja? Aku sudah lama menunggumu sejak aku selesai mandi tadi.”
Alin sengaja memakai gaun sutra berendanya. Dalam sinar lampu temaran, dia tampak sangat menggoda saat dia menempelkan dadanya ke lengan Fabian.
Meskipun wanita seksi itu menggelayut pada lengannya, Fabian tetap bergeming dan menatapnya dengan muram, “Alin, apa ada sesuatu yang ingin kau jelaskan padaku?”
Seketika Alin kaget dengan pertanyaan Fabian, lalu bersikap pura-pura tidak tahu. “Apa yang harus kujelaskan padamu? Kau ini kenapa sih, Fabian?”
*Foto-foto hari ini.” Melihat Alin bersikap pura-pura tidak tahu, Fabian mulai kehilangan kesabarannya. “Siapa yang mengizinkanmu menyebarkan foto-foto aib Vivin?”
Wajah Alin seketika berubah pucat.
Apa dia tahu bahwa aku pelakunya?
“Fabian… kau… pasti sudah salah paham?” Alin mulai melantur karena panik, “Aku tidak tahu bagaimana bisa foto saudara perempuanku itu tiba-tiba tersebar, tetapi kau harus yakin bahwa aku…”
“Alin Martha! Berani-beraninya kau! Masih bersikap pura-pura tidak tahu di saat seperti ini?” Fabian memotong perkataan Alin, penuh kekesalan pada orang yang ada di hadapannya ini. Amarahnya
memuncak, Fabian mendorongnya sambil berkata, “Kakek Buyut sudah tahu yang sebenarnya! Menurutmu Kakek Buyut akan berkomentar apa terhadapku setelah kejadian memalukan ini?”
Apa?
Tetua Normando juga sudah tahu? All text © NôvelD(r)a'ma.Org.
Wajah Alin berubah pucat pasi.
Dia tidak mengantisipasi bahwa dalam semangatnya untuk mencipta citra buruk Vivin, dia malah menohok dirinya sendiri.
Sambil menatap Fabian yang berdiri di hadapannya, Alin menyadari bahwa Fabian adalah satu- satunya orang yang bisa ia peralat. Dalam sekejap matanya memerah saat ia menggelayut memelas di lengan baju Fabian. “Fabian, maafkan aku. Aku benar-benar minta maaf. Selama ini aku dibutakan oleh ego dan emosiku sendiri, yang telah membuatku bertindak tidak pantas seperti ini. Kau tidak akan meninggalkanku karena hal ini, kan?”
Sambil memohon, air matanya pun jatuh.
Tidak dapat dipungkiri, Alin benar-benar gadis yang cantik. Meski berpura-pura, tampangnya yang sedang menangis tersedu-sedu ini sudah cukup meluluhkan hati. Bagaimanapun juga, Alin tetaplah kekasihnya. Fabian merasakan hatinya melembut lalu memelankan suaranya. “Alin, katakan padaku. Apa alasanmu melakukan semua hal itu?”
Alin melanjutkan aktingnya, sambil menggigit bibirnya dia berbisik, “Karena aku begitu takut…”
“Takut akan apa?”
“Aku takut kau masih memiliki perasaan terhadap saudara perempuanku. Aku takut kau akan kembali menjalin hubungan dengannya, lalu… meninggalkanku…”
Fabian tidak menyangka akan jawabannya itu. Sejenak dia tertegun, bingung. Akan tetapi, melihat wajahnya yang tersenyum, walau dengan bekas air mata, hatinya pun terenyuh. Dia mengulurkan tangannya dan memeluk erat Alin.
“Lugu sekali.” bisik Fabian di telinganya. “Setelah skandal menjijikan yang dilakukannya dua tahun lalu, apa menurutmu aku masih ada urusan dengannya?”
Mendengar hal itu, perasaan Alin tetap tidak karuan, mungkin ada hubungannya dengan begitu banyak hal tak beres yang terjadi hari itu. Bahkan, bukannya merasa lega mendengar kata-kata manis Fabian, hal itu justru memperburuk perasaan yang ada di hati Alin.
“Fabian.” Sambil merangkul tangan Fabian, Alin memberanikan diri bertanya, “Apabila kau mengetahui bahwa dua tahun sebelumnya… saudara perempuanku itu… tidak melakukan semua hal itu. Apakah kau akan kembali padanya?”
Jauh di lubuk hatinya, sampai kapanpun hal ini akan selalu menjadi duri dalam daging.
Alin berharap bahwa selama Fabian dan Vivin berpisali, mereka berdua tidak akan berurusan lagi dan akan menjadi orang asing bagi masing-masing. Namun, kehidupan nyata, tidaklah sama dengan sinetron TV di mana sang pemeran utama masih saling merindukan.
Namun, pikiran ini tak lagi membuatnya yakin.
Alin tidak pernah menyangka bahwa Fabian pada akhirnya akan menjadi atasan Vivin di kantor. Takdir lain pun akhirnya membawa Vivin menjadi istri Finno, yang membuatnya menjadi bibinya Fabian.
Semenjak mengetahui Vivin adalah staf di bawah Fabian, Alin menjadi sangat khawatir bila Vivin berniat untuk mengklarifikasi apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu. Namun, entah mengapa Vivin tidak pernah menjelaskan hal itu. Di samping kebingungannya, Alin pun merasa lega.
Meskipun begitu, hal ini masih sangat mengganggunya sehingga tetap membuatnya cemas.
Menyaksikan gerak-gerik Fabian terhadap Vivin akhir-akhir ini, Alin menyadari bahwa dirinya tidak boleh menganggap remeh hubungan di antara mereka berdua. Dia sangat cemas, takut apabila Fabian berniat menjalin kembali hubungan dengan Vivin, terlebih apabila dia
mengetahui kenyataan mengenai insiden itu beberapa tahun lalu.