Antara Dendam dan Penyesalan

Bab 14



Olga sama sekali tidak tahan minum minuman beralkohol.

Jika bukan karena Selena yang menghentikannya, Olga pasti sudah terlibat masalah dengan orang dan membuat keributan besar di ruang VIP itu. Lagi pula, Selena tidak pernah melihat Olga merangkul pria sambil berkata bahwa dirinya sedang kesepian.

Saat melihat bahwa Olga sudah mabuk berat, Selena terpaksa membawanya kembali ke apartemen yang baru disewanya itu.

Beberapa waktu yang lalu, salah seorang temannya memperkenalkan apartemen milik kerabatnya kepada Selena. Selena berpikir bahwa dengan cara ini, dia dapat menghemat biaya agen. Dengan temannya sebagai penjamin dirinya, proses menyewa apartemen itu menjadi jauh lebih mudah.

Pemilik apartemen itu sedang berada di luar negeri dan tidak akan kembali dalam waktu dekat, sehingga surat kontrak sewanya belum ditandatangani. Setelah mengobrol lewat pesan singkat selama beberapa waktu, Selena berhasil membuat pemilik apartemen itu setuju, sehingga Selena pun bisa mulai membersihkan tempat itu dan mempersiapkan kepindahannya.

Tanpa adanya kontrak resmi mengenai penyewaan apartemen itu, Harvey tidak akan dapat menemukan Selena untuk sementara waktu.

Meskipun apartemen itu tidak terlalu besar dan tidak sebagus rumah Keluarga Bennet, juga tidak sebagus rumah pernikahannya dengan Harvey, tetapi suasana apartemen itu terasa sangat hangat. Selena sangat menyukai tempat itu, dia sengaja memelihara ikan tropis kesukaan ayahnya di sana.

Begitu membuka jendela, dia bisa melihat pemandangan laut dari tempat dia berdiri. Dahulu, dia mengira bahwa Harvey telah menyiapkan rumah untuknya di Perumahan Kenali, tetapi pada akhirnya malah Agatha yang tinggal di sana.

Awalnya, dia memang cukup lama merasa kesal dan sedih. Namun, sekarang di sudah mengerti. Meskipun apartemen ini tidak semahal rumah itu, tetapi dia juga berhasil tinggal di tempat yang indah dengan pemandangan laut, bukan?

Teras apartemen itu memang tidak terlalu besar. Selena meletakkan karpet tebal di atas lantai teras. Awalnya, Selena pernah berpikir, setelah kondisi ayahnya stabil, dia akan menjemput ayahnya untuk tinggal di sini, sehingga ayahnya pun nantinya bisa menghabiskan waktu santai sambil berjemur untuk menikmati hari tua dengan tenang.

Namun, semua rencana itu harus dihadapkan pada tantangan yang berat. Dia tidak pernah menyangka bahwa dirinya akan mengidap penyakit mematikan dan menghadapi situasi seperti saat ini.

Setelah meminum beberapa gelas anggur, tubuh Selena mulai merasa tidak nyaman. Dia pun meminum obat, lalu kembali ke kamarnya dan berbaring di tempat tidurnya yang agak sempit, hanya seukuran tempat tidur anak-anak.

Meskipun setiap malam dia harus meringkuk saat tidur, tetapi anehnya, hanya dengan posisi ini dia bisa tidur dengan sangat cepat.

Karena pengaruh alkohol, dia pun tertidur nyenyak malam ini. Ketika terbangun, ternyata hari sudah agak siang.

Olga yang terbangun lebih dahulu sebelum Selena bangun, segera menyiapkan sarapan. Tidak seorang pun dari mereka yang mengungkit soal kejadian di malam sebelumnya, seakan-akan mereka sudah saling mengetahui isi pikiran masing-masing.

Mereka berdua merasa terlalu malu untuk membicarakan kejadian itu, sehingga mereka pun sama-sama berusaha menyembunyikannya di dalam hati saja. Olga buru-buru berlari ke arah pintu sambil membawa sepatu hak tinggi.

Dengan sepotong roti panggang di mulutnya, dia berbicara dengan kata-kata yang kurang jelas, “Sarapan untukmu sudah siap. Aku hampir terlambat, jadi aku harus pergi dulu.”

Selena pun memanggilnya, “Olga, aku agak sibuk beberapa hari ini, jadi mungkin tidak bisa menemanimu.”

“Jangan khawatir. Memangnya kamu pikir aku ini manusia tidak berguna yang hanya bisa menghabiskan uang? Hal tadi malam itu kulakukan hanyalah untuk melepas kepenatanku. Hari ini aku sudah siap untuk bekerja keras lagi. Bukankah uang lebih penting daripada pria? Kalau kamu butuh bantuan, segera hubungi aku. Jangan menyiksa dirimu sendiri dengan berbagai pekerjaan paruh waktu itu.”

“Ya, aku tahu.” Selena mengantarkan Olga ke pintu dan memeluknya dengan lembut. “Olga, kamu pasti akan menemukan pria yang lebih baik. Kesedihan di hari ini akan terbayar dengan kebahagiaan di hari esok.”

Olga pun menggoda, “Kamu masih saja berusaha untuk menghiburku. Kamu sendiri gagal untuk mempertahankan pria sebaik itu. Entah nantinya di mana lagi kamu bisa menemukan pria yang lebih baik daripada dia.”

“Nantinya?” Selena tersenyum dan menatap ke arah sinar matahari sambil berkata, “Siapa yang tahu tentang itu ...”

Olga yang awalnya sudah akan pergi, menatap punggung Selena yang kurus itu, lalu memeluknya dari belakang sambil berkata, “Beberapa hari ke depan, aku punya banyak kesibukan. Setelah itu, aku akan mengajakmu untuk bersenang-senang. Jagalah dirimu baik-baik. Cuacanya akan jadi lebih dingin sebentar lagi, mungkin akan turun hujan yang sangat deras. Walaupun tidak ada yang menemanimu, kamu harus tetap memperhatikan dirimu sendiri.”

“Oke.” Setelah mengantarkan kepergian Olga, Selena membersihkan kamarnya, lalu menyalakan ponselnya.

Ternyata Harvey telah meneleponnya beberapa kali tadi malam. Sepertinya tujuannya untuk membicarakan masalah perceraian, tetapi sayangnya, Selena tidak akan ada waktu untuk meladeninya untuk beberapa hari ke depan.

Selain Harvey, ada juga beberapa panggilan tidak terjawab dari Maisha. Selena pun kemudian menelepon Maisha.

Panggilan itu segera tersambung. Terdengar suara Maisha yang penuh dengan kekhawatiran, "Selena, kenapa kamu tidak menjawab telepon Ibu? Ibu sangat mengkhawatirkanmu. Berapa banyak uang yang masih kurang? Ibu akan segera mentransfernya kepadamu.”

Saat mendengar suara ombak yang menabrak terumbu karang di laut, suasana hati Selena menjadi jauh lebih tenang. Selama ini, dia selalu merasa sangat tidak rela dengan kepergian ibunya yang meninggalkan dirinya tanpa alasan jelas.

Setelah mengetahui bahwa Maisha telah menjadi ibu tiri Agatha, Selena bahkan semakin tidak dapat menerima kenyataan itu. Kenapa dia malah bisa menjadi ibu tiri Agatha?

Namun, tidak peduli betapa sedih dirinya, semua itu telah terjadi. Selena menyadari bahwa dirinya tidak bisa berbuat apa-apa.

“Bu, aku baik-baik saja, tidak usah khawatir. Harvey sudah memberiku uang, jadi Ibu tidak perlu khawatir tentang biaya pengobatan Ayah.”

“Selena, di mana kamu sekarang? Ibu ingin bertemu denganmu dan menebus kesalahan Ibu terhadapmu selama ini,” kata Maisha yang merasa tidak tenang setelah waktu itu meninggalkan putrinya di bawah guyuran hujan deras.

Selena memandangi laut biru di luar apartemennya itu sambil berkata dengan cuek, “Bu, kalau Ibu benar-benar peduli kepadaku, Ibu tidak akan mengabaikanku selama bertahun-tahun. Jika Ibu masih punya perasaan terhadap Ayah, Ibu tidak akan mengabaikannya. Bahkan Ibu tidak pernah menjenguknya walau sudah pulang dari luar negeri. Ini semua salahku. Aku telah bertindak gegabah karena sudah tidak tahu harus berbuat apa lagi.Aku telah lupa bahwa Ibu sudah menikah lagi, sehingga aku sampai memohon bantuan kepada Ibu. Aku berjanji tidak akan mengulangi kesalahan seperti ini lagi.”

“Selena, Ibu...”

“Bu, sebaiknya kita kembali seperti dulu saja. Aku akan menjaga Ayah. Yang perlu Ibu lakukan hanyalah menganggap kalau aku ini bukan anak Ibu. Aku juga akan menganggap kalau aku ini tidak punya Ibu.”

Selena tidak mempersalahkan dirinya telah dipermalukan di depan Agatha, tetapi Selena sangat kecewa atas perlakuan Maisha terhadap dirinya, di mana Maisha waktu itu pergi keluar negeri tanpa menjelaskan alasan apa pun.

Di saat Selena membutuhkannya, wanita itu malah tinggal bersama Agatha dan merawat putri orang lain.

Ini adalah pilihan Maisha. Walaupun tidak bisa menyalahkan ibunya, Selena tetap tidak dapat benar-benar menerima dan memaafkannya.

Setelah menutup telepon, Selena pergi mengurus pengunduran dirinya dari tempatnya kerja paruh waktunya. Setelah itu, barulah dia mengirimkan pesan kepada Harvey yang isinya mengatakan bahwa dia sangat sibuk beberapa hari ini, sehingga urusan perceraian akan diurus di lain waktu.

Tidak peduli seperti apa sebenarnya kenyataannya, dia dan Harvey tidak akan bisa kembali bersatu.

Selamat tinggal. Hanya itu yang bisa saling mereka ucapkan. Mereka bahkan tidak bisa menjadi teman, apalagi sepasang kekasih.

Setelah membereskan semua urusannya, Selena pergi ke rumah sakit. Saat melihat bahwa Selena datang sendirian, Lewis mengamati tubuh Selena terlihat semakin kurus.

Lewis berusaha untuk menahan rasa iba di dalam hatinya, lalu berkata dengan lembut, “Apakah kamu takut?”

“Sebenarnya aku agak takut, tetapi melihat kehadiranmu di sini, aku jadi lebih tenang.”

“Jangan khawatir, aku sendiri yang telah menyiapkan obat kemoterapinya. Aku akan mencoba untuk meminimalisir rasa tidak nyaman yang mungkin ditimbulkan.”

“Terima kasih, Kak Lewis.”

Saat tiba di departemen rawat inap, Selena benar-benar merasa bagaikan sedang berada di neraka. Ini adalah pertama kalinya dia melihat begitu banyak pasien di sana. Ada pasien pria maupun wanita, ada yang sudah tua maupun yang masih muda, mereka semua memiliki penampilan yang berbeda-beda. Satu-satunya kesamaan di antara mereka adalah semua orang memakai rambut palsu atau topi di kepalanya.

Ada juga beberapa pria tua yang tengah berjalan di koridor dengan kepala gundul. Di sebagian besar kamar pasien di sana terdapat beberapa orang yang sedang menjalani kemoterapi.NôvelDrama.Org holds text © rights.

Ada beberapa orang yang sedang menangis, sedangkan beberapa orang yang lainnya sedang memandang ke luar jendela dengan tatapan kosong.

Selena menyadari, tidak lama lagi dia akan menjadi seperti mereka yang telah kehilangan harapan hidup itu. Dia merasa bahwa langkah-langkahnya menuju ke masa depan juga terasa semakin berat.

Berkat bantuan Lewis, Selena berhasil mendapatkan sebuah kamar yang hanya untuk diisi satu orang pasien. Perawat yang ada di sana menyapanya dengan lembut, "Bu Selena, ya? Pak Lewis sudah menjelaskan semuanya kepada kami. Ibu boleh bersiap-siap dahulu, biar anggota keluarga Ibu yang membantu mengurusi administrasi dan biaya obat-obatan.”

Anggota keluarga?

Benar, semua orang di sini memiliki satu atau dua orang anggota keluarga yang menemani mereka. Hanya Selena yang datang sendirian. Bahkan orang-orang di sekitarnya pun sampai memandanginya dengan iba. Selain harus bersusah-payah menghadapi penyakit ini, dia juga harus menjalani kemoterapi seorang diri.

Selena menggigit bibirnya dan berkata dengan canggung, “Aku tidak punya anggota keluarga, tolong carikan saja salah satu perawat untuk membantuku.”

“Mana bisa begitu? Surat-surat ini harus ditandatangani oleh anggota keluarga.” Perawat itu berkata dengan serba salah, “Apakah Ibu tidak punya suami? Orang tua atau saudara juga boleh.”

Selena hanya bisa berdiri di sana tanpa tahu harus berbuat apa. Dia terlihat seperti seorang anak yang datang ke sekolah tanpa orang tua dalam acara pertemuan orang tua murid dan guru. Seorang diri memang sangat menyedihkan.

Lewis melangkah maju dan berkata, “Aku anggota keluarganya. Biar aku saja yang menandatanganinya.”


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.